ETIKA DAN PROFESIONALISME SAKSI AHLI


Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengatur terkait alat bukti yang sah sebagai mana yang termaktub dalam pasal 184 ayat (1) yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa1[1]. Dalam konteks hukum pembuktian, bukti minimum adalah salah satu parameter pembuktian yang diperlukan untuk mengikat kebebasan hakim yang jika merujuk KUHAP, minimum dibutuhkan dua alat bukti[2]. Ditinjau dari perspektif  sistem peradilan pidana, perihal pembuktian merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana, khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Mengerucut kehadiran keilmuan Forensik yang menangani investigasi pembuktian diberbagai hal keilmuan dan hubungannya terhadap KUHAP pasal 184 ayat (1) yaitu, keilmuan forensik bukan menambah alat bukti baru, melainkan sebagai bukti petunjuk. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 188 ayat (1) Petunjuk merupakan, perbuatan kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya[3] .
Penggunaan alat bukti investigasi dan peran ahli tentu merupakan salah satu sumber pembuktian di dalam peradilan. Selain saksi konvensional sebagai mana yang diatur dalam KUHP pasal 1 butir 26 tentu diperlukan juga keterangan ahli dalam hal pembuktian di pengadilan[4]. Dalam pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan dan ketentuan nya terdapat pada KUHAP pasal 1 butir 28.




[1] Lihat, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal.184 ayat (1)
[2] s.d.a, Pasal. 183
[3] s.d.a, Pasal 188
[4] s.d.a, Pasal 1 butir 26

Unduh Dokumen lengkap diSINI (MediaFire)

No comments :

Post a Comment

Leave A Comment...